Hanya mengingatkan !!!

Satu - satunya orang yang tidak membuat kesalahan ialah orang yang tidak berbuat apa - apa, dan
Jangan takut kepada kesalahan, selama anda tidak mengulangi kesalahan yang sama. !!!

Sabtu, 11 Mei 2013

SEJARAH BENTENG FORT ROTTERDAM


BAB I (FORT ROTTERDAM- MUSEUM BUDAYA & MUSEUM PURBAKALA)
A.   Latar belakang Fort Rotterdam
Benteng Fort Rotterdam merupakan salah satu benteng di Sulawesi Selatan yang boleh dianggap megah dan menawan.Seorang wartawan New York Times, Barbara Crossette pernah menggambarkan benteng ini sebagai “the best preserved Dutch fort in Asia”.Pada awalnya benteng ini disebut Benteng Jumpandang (Ujung Pandang). Benteng ini merupakan peninggalan sejarah Kesultanan Gowa, Kesultanan ini pernah Berjaya sekitar abad ke-17 dengan ibu kota Makassar.
Benteng ini dibangun tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-X yang bernama Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung atau Karaeng Tunipalangga Ulaweng. Pada awalnya bentuk benteng ini adalah segi empat, seperti halnya arsitektur benteng gaya Portugis. Bahan dasarnya campuran batu dan dan tanah liat yang dibakar hingga kering.
Pada tanggal 9 Agustus 1634, Sultan Gowa ke-XIV (I Mangerangi Daeng Manrabbia, dengan gelar Sultan Alauddin) membuat dinding tembok dengan batu padas hitam yang didatangkan dari daerah Maros.Pada tanggal 23 Juni 1635, dibangun lagi dinding tembok kedua dekat pintu gerbang.
Benteng ini pernah hancur pada masa penjajahan Belanda.Belanda pernah menyerang Kesultanan Gowa yang saat itu dipimpin Sultan Hasanuddin, yaitu antara tahun 1655 hingga tahun 1669.Tujuan penyerbuan Belanda ini untuk menguasai jalur perdagangan rempah rempah dan memperluas sayap kekuasaan untuk memudahkan mereka membuka jalur ke Banda dan Maluku.
Armada perang Belanda pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jendral Admiral Cornelis Janszoon Speelman.Selama satu tahun penuh Kesultanan Gowa diserang, serangan ini pula yang mengakibatkan sebagian benteng hancur.Akibat kekalahan ini Sultan Gowa dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Gubernur Jendral Speelman kemudian membangun kembali benteng yang sebagian hancur dengan model arsitektur Belanda.Bentuk benteng yang tadinya berbentuk segi empat dengan empat bastion, ditambahkan satu bastion lagi di sisi barat. Nama benteng kemudian dinamakan Fort Rotterdam, yang merupakan nama tempat kelahiran Speelman.
Sejak saat itu Benteng Fort Rotterdam berfungsi sebagai pusat perdagangan dan penimbunan hasil bumi dan rempah rempah sekaligus pusat pemerintahan Belanda di wilayah Timur Nusantara (Indonesia).
Di setiap sudut dan pintu utama dibuat benteng pertahanan yang menonjol ke luar dalam bentuk berlian, membuat benteng sulit ditundukkan sehingga Belanda dapat bertahan di sana selama ratusan tahun.
Hingga kini, benteng masih menjaga laut Makassar dan mempertontonkan contoh besar dari hasil renovasi arsitektur kolonial Belanda.

B.   Sejarah singkat
Selain terkenal dengan wisata kulinersea food, Kota Makassar juga punya wisata-wisata yang sarat nilai sejarah. Salah satunya adalah Fort Rotterdam atau biasa dikenal juga dengan namaBenteng Ujung Pandang. Benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo ini terletak di sebelah barat Makassar, tepatnya di Jl. Ujung Pandang.Lokasinya sangat dekat sekali dengan pantai, hanya dipisahkan oleh jalan beraspal.Menurut catatan sejarah, benteng ini pertama kali didirikan pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9.
Bagian dalam Benteng Fort Rotterdam.
Benteng ini memiliki bentuk yang unik.Jika kita perhatikan di maket yang terdapat di dalam benteng, bentuknya menyerupai kura-kura. Terdapat empat bastion utama yang seolah-olah menjadi kaki untuk sang kura-kura. Sedangkan pintu masuk utamanya terdapat di bagian kepala.Karena bentuknya itu lah orang Makassar sering menamainya Benteng Panyyua.Pada masa kerajaan Gowa, benteng ini dijadikan markas Pasukan Katak.
Tembok di Fort Rotterdam.Tiap bastion di benteng ini dihubungkan oleh tembok kokoh yang konstruksinya disusun menggunakan batu padas yang diambil dari daerah Maros.Di sepanjang tembok ini terdapat jalur menyerupai parit yang digunakan oleh pasukan penjaga benteng untuk berlindung dan berpindah antarbastion.Pengunjung bisa menaiki dan menyusuri tembok ini untuk merasakan sensasi menjadi prajurit penjaga benteng.
Meriam di Fort Rotterdam.Di beberapa tempat di dalam benteng, kita dapat juga menjumpai beberapa benda peninggalan sejarah seperti meriam canon. Selain itu, di dalam benteng Fort Rotterdam juga terdapat museum La Galigo yang mempunyai berbagai macam referensi sejarah kebesaran Gowa-Tallo (Makassar) dan beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan. Berada di dalam museum ini, kita seakan-akan sedang menyaksikan kehidupan rakyat Sulawesi Selatan di zaman dulu.
Salah satu koleksi museum La Galigo. Sayang sekali selain ke Museum La Galigo, kita tidak diizinkan untuk menengok ke dalam bangunan lain yang terdapat di dalam benteng Fort Rotterdam.


C.   Museum La Galigo (Gedung No. 10) Fort Rotterdam
Museum yang pertama berdiri di Sulawesi Selatan adalah Celebes Museum pada tahun 1938, didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda di kota Makassar sebagai ibukota Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden (Pemerintahan Sulawesi dan Daerah Taklukannya). Kepala Museum adalah Tuan Ness.
Celebes Museum bertempat di Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam), menempati bekas gedung kediaman Laksamana Cornelis Speelman, yaituGedung No.2. Koleksi diperoleh dari sumbangan masyarakat dan hasil penggalian, diantaranya berbagai jenis keramik, mata uang, beberapa buah destar tradisional Sulawesi Selatan, dan piring emas.
Menjelang kedatangan Jepang di kota Makassar, Celebes Museum telah menempati tiga gedung, yaitu Gedung No.2, Gedung No.5, dan Gedung No.8. Koleksi di Gedung No.5 berupa alat-alat pertukangan kayu, jenis perahu, dan alat-alat pertanian, serta koleksi etnografi dari emas.Koleksi di Gedung No.8 berupa alat permainan rakyat; alat dapur seperti periuk, belanga, dll; alat musik, berbagai jenis tombak.
Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan museum terhenti, dan mulai dirintis kembali oleh para budayawan setelah pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT).Museum berdiri kembali pada tahun 1966meski tidak dalam status resmi. Koleksi diperoleh dari sumbangan para budayawan, berupa gelang perak, mata uang kuno, pakaian adat pengantin, keris dan badik. Ditambah koleksi dari Yayasan Matthes, Yayasan Pusat Kebudayaan Indonesia Timur, dan milik Inspeksi Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan.
Empat tahun kemudian, dengan surat keputusan Gubernur (1970), museum secara resmi berdiri dengan namaMuseum La Galigo. Selanjutnya melalui surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1979), nama museum berubah menjadi Museum La Galigo Propinsi Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1988, Direktur Jenderal Kebudayaan melalui Direktur Permuseuman Jakarta mengeluarkan keputusan tentang penyeragaman nama museum negeri tingkat provinsi seluruh Indonesia, yaitu mendahulukan nama provinsinya masing-masing kemudian diikuti nama lokalnya. Dengan demikian sekali lagi museum berganti nama menjadi Museum Negeri Propinsi Sulawesi Selatan La Galigo. Di era otonomi, melalui surat keputusan Gubernur (2001), nama museum diganti menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan.

Ø  Penamaan Museum La Galigo
Museum Sulawesi Selatan ini diberi nama ‘La Galigo’ atas saran seorang seniman, dengan pertimbangan nama ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. La Galigo adalah salah satu putra Sawerigading Opunna Ware, seorang tokoh masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan WeCudai Daeng Risompa dari Kerajaan Cina Wajo. Setelah dewasa, La Galigo dinobatkan menjadi Pajung Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu, pada abad ke-14.
‘La Galigo’ juga nama sebuah karya sastra klasik dalam bentuk naskah tertulis bahasa Bugis yang terkenal dengan nama Surek La Galigo, dengan panjang 9.000 halaman, dan La Galigo sendiri dianggap sebagai pengarangnya (note: studi mengungkapkan kemungkinan penulisnya adalah perempuan bangsawan), pada masa yang sezaman dengan Kerajaan Sriwijaya. Isinya mengandung cerita-cerita, tatanan, dan tuntunan hidup orang Sulawesi Selatan dulu, seperti sistem religi, ajaran kosmos, adat-istiadat, bentuk, dan tatanan masyarakat/pemerintahan tradisional, pertumbuhan kerajaan, sistem ekonomi/perdagangan, keadaan geografis, dan peristiwa penting yang pernah terjadi. Naskah ini biasanya dibacakan secara berlagu kepada pendengarnya. Khusus ceritera tokoh Sawerigading, tidak hanya dikenal di daerah Bugis saja, tetapi dapat dijumpai dalam bentuk ceritera lisan di Makassar, Toraja (note: Toraja adalah dataran tinggi, sehingga cukup mengejutkan berkembangnya epos berlatarbelakang bahari di sini), Mandar, Massenrempulu, Selayar, Sulawesi Tenggara, dan Tengah.
Beberapa tokoh yang pernah mengulas Surek La Galigo antara lain Stamford Raffles, B.F.Matthes, R.A.Kern, dan A.Zainal Abidin Farid. Hasil pengkajian ilmuwan ini, diperoleh kesimpulan berikut (Buku Petunjuk UPTD Museum La Galigo, 2008):

1.      Sebagai sastra suci, menceritakan tentang cikal-bakal orang Bugis yang sakti dan dimuliakan. Oleh sebab itu naskah La Galigo mereka layani dan hormati seperti menghormat tokoh ceritera didalamnya. Dengan sikap dan pandangan demikian ini, La Galigo melaksanakan fungsi sebagai penawar keresahan menghadapi ancaman penyakit, bencana alam, dan kematian, juga sebagai pelindung ancaman kebahagiaan hidup.

2.      Sebagai Sastra Berguna atau Sastra Normatif, berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan; berbagai tatacara kehidupan sehari-hari, mulai dari peristiwa kelahiran, pijak tanah, perkawinan, hingga urusan kematian dan adat beraja-raja. Dengan demikian ia melaksanakan fungsi sebagai pendorong terciptanya integritas sosial dengan keluarga raja sebagai intinya, dan pendorong terciptanya stabilitas sosial, serta kelestarian pranata sosial budaya.

3.      Sebagai sastra indah, berisi ceritera petualangan, percintaan, dan peperangan yang memikat dan menegangkan dalam irama dan gaya bahasa yang menawan. Dengan kedudukan demikian naskah ini berfungsi sebagai alat penghibur, penggugah emosi, dan imaji pengikat, pembina kompetensi dan apresiasi sastra di kalangan masyarakat.

Dengan kedudukan dan fungsi tersebut di atas ‘Surek La Galigo’ dapat bertahan melampaui masa yang panjang dan menjadi warisan serta kebanggaan dari generasi ke generasi.
Ø  Susunan Penataan Pameran
Gedung No.10, terletak di sebelah selatan, terdiri dari tiga lantai dengan susunan penataan pameran sebagai berikut (Ruang 3-5 di Lantai II):
  • Ruang 1 (Kebaharian): peta topografi, suku bangsa Sulawesi Selatan; miniatur perahu pinisi, patorani, palari, bahan pembuatan perahu, dll
  • Ruang 2: bagang, roppong, alat penangkap ikan; perahu lambo, palari, bendi, dll
  • Ruang 3 (Teknologi Tradisional): alat pertanian tradisional; lesung dari Raja Tolo Jeneponto; alat pengolahan sagu, gula merah, alat rumah tangga, musik tradisional anjong bola, dll
  • Ruang 4 (Tenun Tradisional): alat penempaan besi dan hasil-hasilnya; alat proses pembuatan benang, lungsi; perangkat tenun tradisional; berbagai hasil tenunan dan pakaian adat Sulawesi.
  • Ruang 5 (Pakaian Pengantin dan Pelaminan): pakaian pengantian adat suku bangsa di Sulawesi Selatan; pelaminan
  • Ruang 6 (Wawasan Nusantara): pakaian adat Sulawesi Utara, Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dll; panah dan patung dari Papua; pakaian adat Jawa dan Bali, dll; lukisan Syekh Yusuf, tasbih, dll
D.   Observasi
Ø  Latar belakang
Museum La Galigoyang terletak di komplek Benteng Ujung pandang ini memiliki gaya bangunan bercorak klasik. Nama La Galigo merupakan nama seorang sastrawan besar Sulawesi Selatan yang juga merupakan cikal bakal Raja-raja Sulawesi Selatan.
Awal kehadiran museum di Sulawesi Selatan pada tahun 1938, yaitu dengan didirikannya Celebes Museum oleh Pemerintahan Nederlands Indie (Hindia Belanda) di Kota Makassar.Kepala Museum pada saat itu adalah Tuan Nees.Museum ini menggunakan salah satu bangunan dalam komplek Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam), yaitu bekas kediaman Admiral C. Speelman.
Pada tanggal 1 Mei 1970, Museum La Galigo resmi dinyatakan berdiri sesuai dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sulawesi selatan No. 182/V/1970. Pada tanggal 24 Februari 1974, Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. I.B. Mantra meresmikan gedung no. 5 dengan luas 2.211 m² sebagai ruang pameran tetap dan ruang pembinaan. Selanjutnya pada tanggal 28 Mei 1979 berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 093/0/1979 Museum La Galigo resmi menjadi Museum La Galigo Propinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 1988 Direktur Jenderal Kebudayaan melalui Direktur Permuseuman Jakarta mengeluarkan keputusan tentang penyeragaman nama museum negeri tingkat propinsi seluruh Indonesia, yaitu mendahulukan nama propinsinya kemudian diikuti nama lokal, sehingga museum La Galigo menjadi Museum Negeri Propinsi Sulawesi Selatan La Galigo. Pada era otonomi daerah Museum Negeri Propinsi Sulawesi Selatan La Galigo berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan dengan SK. Gubernur No. 166 tahun 2001 tanggal 28 Juni 2001.

Ø  Bangunan
Bangunan-bangunan yang terdapat didalam benteng selain digunakan sebagai kantor, dan pusat pelayanan informasi di lingkungan dinas Pariwisata, juga ada yang difungsikan sebagai museum dan diberi nama "Museum Negri Provinsi Sulawesi Selatan La Galigo, yang diambil dari Nama seorang tokoh Budayawan, Sastrawan, Dan Negarawan pada masa priode klasik masyarakat Sulawesi Selatan lagaligo juga merupakan nama dari sebuah karya sastra klasik yang didalamya mengungkapkan mengenai berbagai seni Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Sulawesi Selatan.
Sebagai mana fungsinya sebagai sebuah museum yakni melestarikan dan memanfaatkan warisan alam dan Budaya maka didalam museum LA Galigo dapat dijumpai benda-benda prasejarah atau Arkeologi. Kilas balik masa lampau dapat dikaji melalui situs- situs yang terpanjang, misalnya masa transisi megalitik yang muncul setelah adanya tradisi ini ditandai dengan pendirian bangunan batu besar yang digunakan sebgai saran pemujaan berdasarkan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang meninggal terutama kepercayaan bahwa ada pengaruh yang kuat dari yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Pada ruangan prasejarah arkeologi museum LA galigo dapat ditemukan bukti-bukti sejarah masa lampau.Seperti masa berburu dan mengumpulkan makanan.
Masa ini disebut paleolitik sebagai awal adanya kebudayaan.


Ø  Koleksi
Museum ini memiliki koleksi sebanyak kurang lebih 4999 buah yang terdiri dari koleksi prasejarah, numismatik, keramik asing, sejarah, naskah, dan etnografi. Koleksi etnografi terdiri dari berbagai jenis hasil teknologi, kesenian, peralatan hidup dan benda lain yang dibuat dan digunakan oleh suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Museum juga memiliki benda-benda yang berasal dari kerajaan-kerajaan lokal dan senjata yang pernah digunakan pada saat revolusi kemerdekaan.
1.      Koleksi Mata Uang
Didalam Museum Lagaligo terdapat koleksi mata uang yang pernah beredar dan berlaku di indonesia yakni pada masa klasik Hindu Budha pada abad ke -5-15 masa Islam pada abad 13. masa Kolonial abad ke 16. masa Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.

2.      Koleksi Nusantara
Disalah satu ruangan museum La Galigo anda dapat jumpai replika dari beberapa situs atau cagar budaya di Indonesia, seperti bangunan candi , Arca, dan bentuk bentuk nisan yang banyak ditemukan pada makam - makam kuno.

3.      Koleksi Keramik
Diruangan Koleksi Keramik terdapat berbagai jenis keramik kuno dari berbagai dinasti seperti Dinasti Sung abad 13-14 Dinasti Swaton abad 16-18, Dinasti cing abad 17-19, Dinasti Yuan terjan abad 14-16, Dinasti Annamese abad 14-16 Keramik - keramik ini berasal dari China, Vietnam, Thailand ,Siam dan Jepang.

4.      Alat-alat Tradisional Perikanan dan Kelautan
Pada bangunan lain Museum Lagaligo anda akan menjumpai koleksi Perangkat Tradisional para pelaut dan nelayan bugis Makassar terdapat replika Perahu Pinisi yang terkenal sampai ke manca negara berbagai jenis peralatan nelayan untuk mengkap ikan yang umumnya masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyrakat pesisisr hingga saat ini.

5.      Sepeda dan Bendi
Tidak hanya peralatan tradisional nelayan yang terpanjang di ruangan ini anda pun dapat melihat bendai, Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional yang terdapat dalam useum lagaligo ini adalah bukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutama tanaman padi sebagai bahan makanan pokok.

6.      Koleksi Peralatan Menempa Besi dan Hasilnya
Jika anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masa lampau masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melalui koleksi tradisional menempa besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis senjata tajam, baik untuk penggunan sehari - hari maupun untuk perlengkapan upacara adat.

7.      Koleksi Peralatan Tenun Tradisonal
Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui bahwa budaya menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah, yakni ditemukan berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerah seperti leang - leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat - serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun dangan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain saung dan pakaian tradisional.

8.      Koleksi Pakaian Nusantara
Pada salah satu ruangan dalam, Museum LA galigo, terdapat koleksi pakaian pengantin adat dari beberapa suku dan daerah indonesia. Koleksi religius dipenghujung jelajah kita dimuseum La Galigo, kita akan berada dalam suatu ruangan yang yang menyimpan berbagai koleksi yang kental dengan islam, mulai dari potret para tokoh islam, Al-quran, tasbih dari masa permulaan masuknya ajaran islam di Sulawesi Selatan.

Rumah Speelman  (Gedung No.2)
Tata Pameran Museum La Galigo
Pameran tetap di Museum La Galigo disajikan di Gedung No.10 yang terletak di sebelah selatan dan Gedung No.2 sebelah utara dalam Kompleks Benteng Ujung Pandang.Dari pintu gerbang Benteng, Gedung No.2 terletak di sebelah kiri.
Gedung No.2, pada masa Hindia Belanda, adalah kediaman Laksamana Cornelis Speelman. Setelah Makassar, Speelman masih memimpin beberapa ekspedisi militer, sebelum kembali ke Batavia pada tahun 1677. Pernah menjabat sebagai Presiden Dewan Kotapraja (1678) yang bersidang tiga kali seminggu di Balai Kota Batavia (sekarang Museum Sejarah Jakarta), sebelum akhirnya menduduki jabatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1681-1684).
Kediaman Speelman di Gedung No.2 sekarang difungsikan sebagai ruang pameran Museum La Galigo, dengan item koleksi sebagai berikut (Ruang 7-10 di lantai dua, Ruang 11-12 di lantai bawah tanah):
·         Ruang 1     :     maket Benteng Ujung Pandang, benda-benda/bahan bangunan benteng, peta lokasi benteng Kerajaan Gowa, foto-foto Gedung yang dpugar,
  • Ruang 2     :     lukisan prasejarah, alat batu prasejarah, koleksi arkeologi
  • Ruang 3     :     koleksi dari masa prasejarah, lukisan, sistem penguburan megalitik
  • Ruang 4     :     gudang
  • Ruang 5     :     koleksi numismatika dan arkeologi
  • Ruang 6     :     koleksi etnografi
  • Ruang 7     :     koleksi Kerajaan Sawitto; Kerajaan Wajo, Mandar, dan Tana Toraja; foto-foto pahlawan nasional dan Sulawei Selatan
  • Ruang 8     :     koleksi Kerajaan Luwu
  • Ruang 9     :     koleksi Kerajaan Bone
  • Ruang 10   :     koleksi Kerajaan Gowa
  • Ruang 11   dan Ruang 12        :           keramik asing dan peta lokasi penemuan keramik asing di Sulawesi Selatan

Kumpulan Puisi


PARA PEMINUM

Karya: sutardji calzoum bachri


di lereng lereng 
para peminum 
mendaki gunung mabuk 
kadang mereka terpeleset 
jatuh 
dan mendaki lagi 
memetik bulan 
di puncak 

mereka oleng 
tapi mereka bilang 
--kami takkan karam 
dalam lautan bulan-- 
mereka nyanyi nyai 
jatuh 
dan mendaki lagi 

di puncak gunung mabuk 
mereke berhasil memetik bulan 
mereka mneyimpan bulan 
dan bulan menyimpan mereka 

di puncak 
semuanya diam dan tersimpan

HERMAN

Karya: sutardji calzoum bachri

herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!



MATA HITAM
karya : WS Rendra

Dua mata hitam adalah matahati yang biru
dua mata hitam sangat kenal bahasa rindu.
Rindu bukanlah milik perempuan melulu
dan keduanya sama tahu, dan keduanya tanpa malu.
Dua mata hitam terbenam di daging yang wangi
kecantikan tanpa sutra, tanpa pelangi.
Dua mata hitam adalah rumah yang temaram
secangkir kopi sore hari dan kenangan yang terpendam.



AKU BERADA KEMBALI
Karya : Chairil Anwar

Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh
1949


PADA SUATU HARI NANTI
Karya : Supardi  Djoko Damono

Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.


DARI BENTANGAN LANGIT
Karya  :Emha Ainun Najib

Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.

1997


SEBUAH JAKET BERLUMURAN DARAH
karya: Taufik Ismail

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.

Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.

HANYA DALAM PUISI

karya : Ajip Rosidi

 

Dalam kereta api
Kubaca puisi: Willy dan
Mayakowsky
Namun kata-katamu
kudengar
Mengatasi derak-derik
deresi.

Kulempar pandang ke luar:
Sawah-sawah dan
gunung-gunung
Lalu sajak-sajak
tumbuh
Dari setiap bulir peluh
Para petani yang
terbungkuk sejak pagi

Melalui hari-hari keras dan sunyi.
Kutahu kau pun tahu:
Hidup terumbang-ambing antara langit
dan bumi
Adam terlempar dari surga
Lalu kian kemari
mencari Hawa.

Tidakkah telah menjadi takdir penyair
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga
ditemuinya: Ragi hati
Yang tak mau
Menyerah pada
situasi?

Dalam lembah
menataplah wajahmu
yang sabar.
Dari lembah
mengulurlah tanganmu
yang gemetar.
Dalam kereta api
Kubaca puisi: turihan-turihan hati
Yang dengan jari-jari
besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir:
Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
sia-sia.

Aku tahu.
Kau pun tahu. Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.

1968


SURAT DARI IBU

Karya : Asrul Sani


Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas !
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas !
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang kesarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku !
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam !
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.”



SEBELUM LAUT BERTEMU LANGIT
karya : Eka Budianta

Seekor penyu pulang ke laut
Setelah meletakkan telurnya di pantai
Malam ini kubenamkan butir-butir
Puisiku di pantai hatimu
Sebentar lagi aku akan balik ke laut.

Puisiku – telur-telur penyu itu-
mungkin bakal menetas
menjadi tukik-tukik perkasa
yang berenang beribu mil jauhnya
Mungkin juga mati
Pecah, terinjak begitu saja

Misalnya sebutir telur penyu
menetas di pantai hatimu
tukik kecilku juga kembali ke laut
Seperti penyair mudik ke sumber matahari
melalui desa dan kota, gunung dan hutan
yang menghabiskan usianya

Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu

Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi

Jakarta, 2003



IBU
Karya: D. Zawawi Imron

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.