BAB I (FORT ROTTERDAM- MUSEUM
BUDAYA & MUSEUM PURBAKALA)
A.
Latar
belakang Fort Rotterdam
Benteng
ini dibangun tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-X yang bernama Imanrigau Daeng Bonto
Karaeng Lakiung atau Karaeng Tunipalangga Ulaweng. Pada awalnya bentuk benteng
ini adalah segi empat, seperti halnya arsitektur benteng gaya Portugis. Bahan
dasarnya campuran batu dan dan tanah liat yang dibakar hingga kering.
Pada
tanggal 9 Agustus 1634, Sultan Gowa ke-XIV (I Mangerangi Daeng Manrabbia, dengan
gelar Sultan Alauddin) membuat dinding tembok dengan batu padas hitam yang
didatangkan dari daerah Maros.Pada tanggal 23 Juni 1635, dibangun lagi dinding
tembok kedua dekat pintu gerbang.
Benteng
ini pernah hancur pada masa penjajahan Belanda.Belanda pernah menyerang
Kesultanan Gowa yang saat itu dipimpin Sultan Hasanuddin, yaitu antara tahun
1655 hingga tahun 1669.Tujuan penyerbuan Belanda ini untuk menguasai jalur
perdagangan rempah rempah dan memperluas sayap kekuasaan untuk memudahkan
mereka membuka jalur ke Banda dan Maluku.
Armada
perang Belanda pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jendral Admiral Cornelis
Janszoon Speelman.Selama satu tahun penuh Kesultanan Gowa diserang, serangan
ini pula yang mengakibatkan sebagian benteng hancur.Akibat kekalahan ini Sultan
Gowa dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November
1667.
Gubernur
Jendral Speelman kemudian membangun kembali benteng yang sebagian hancur dengan
model arsitektur Belanda.Bentuk benteng yang tadinya berbentuk segi empat
dengan empat bastion, ditambahkan satu bastion lagi di sisi barat. Nama benteng
kemudian dinamakan Fort Rotterdam, yang merupakan nama tempat kelahiran
Speelman.
Sejak
saat itu Benteng Fort Rotterdam berfungsi sebagai pusat perdagangan dan
penimbunan hasil bumi dan rempah rempah sekaligus pusat pemerintahan Belanda di
wilayah Timur Nusantara (Indonesia).
Di setiap
sudut dan pintu utama dibuat benteng pertahanan yang menonjol ke luar dalam
bentuk berlian, membuat benteng sulit ditundukkan sehingga Belanda dapat
bertahan di sana selama ratusan tahun.
Hingga
kini, benteng masih menjaga laut Makassar dan mempertontonkan contoh besar dari
hasil renovasi arsitektur kolonial Belanda.
B.
Sejarah
singkat
Selain terkenal dengan wisata kulinersea food,
Kota Makassar juga punya
wisata-wisata yang sarat nilai sejarah. Salah satunya adalah Fort Rotterdam atau biasa dikenal juga
dengan namaBenteng Ujung Pandang.
Benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo
ini terletak di sebelah barat Makassar, tepatnya di Jl. Ujung Pandang.Lokasinya
sangat dekat sekali dengan pantai, hanya dipisahkan oleh jalan beraspal.Menurut
catatan sejarah, benteng ini pertama kali didirikan
pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9.
Benteng ini memiliki bentuk yang unik.Jika kita perhatikan
di maket yang terdapat di dalam benteng, bentuknya menyerupai kura-kura.
Terdapat empat bastion utama yang seolah-olah menjadi kaki untuk sang
kura-kura. Sedangkan pintu masuk utamanya terdapat di bagian kepala.Karena
bentuknya itu lah orang Makassar sering menamainya Benteng Panyyua.Pada
masa kerajaan Gowa, benteng ini dijadikan markas Pasukan Katak.
Meriam di Fort Rotterdam.Di beberapa tempat di dalam
benteng, kita dapat juga menjumpai beberapa benda peninggalan sejarah seperti
meriam canon. Selain itu, di dalam benteng Fort Rotterdam juga terdapat
museum La Galigo yang mempunyai berbagai macam referensi sejarah
kebesaran Gowa-Tallo (Makassar) dan beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan.
Berada di dalam museum ini, kita seakan-akan sedang menyaksikan kehidupan
rakyat Sulawesi Selatan di zaman dulu.
C.
Museum La Galigo (Gedung No. 10)
Fort Rotterdam
Celebes Museum
bertempat di Benteng
Ujung Pandang (Fort Rotterdam), menempati bekas gedung kediaman
Laksamana Cornelis Speelman, yaituGedung No.2. Koleksi diperoleh dari sumbangan masyarakat dan hasil penggalian,
diantaranya berbagai jenis keramik, mata uang, beberapa buah destar tradisional
Sulawesi Selatan, dan piring emas.
Menjelang
kedatangan Jepang di kota Makassar, Celebes Museum telah menempati tiga gedung,
yaitu Gedung No.2, Gedung No.5, dan Gedung No.8. Koleksi di Gedung No.5 berupa
alat-alat pertukangan kayu, jenis perahu, dan alat-alat pertanian, serta
koleksi etnografi dari emas.Koleksi di Gedung No.8 berupa alat permainan
rakyat; alat dapur seperti periuk, belanga, dll; alat musik, berbagai jenis
tombak.
Pada masa
pendudukan Jepang, kegiatan museum terhenti, dan mulai dirintis kembali oleh
para budayawan setelah pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT).Museum berdiri
kembali pada tahun 1966meski tidak dalam status resmi. Koleksi diperoleh
dari sumbangan para budayawan, berupa gelang perak, mata uang kuno, pakaian
adat pengantin, keris dan badik. Ditambah koleksi dari Yayasan Matthes, Yayasan
Pusat Kebudayaan Indonesia Timur, dan milik Inspeksi Kebudayaan Daerah Sulawesi
Selatan.
Empat tahun
kemudian, dengan surat keputusan Gubernur (1970), museum secara resmi
berdiri dengan namaMuseum La Galigo. Selanjutnya melalui surat keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1979), nama museum berubah menjadi Museum La Galigo Propinsi
Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1988,
Direktur Jenderal Kebudayaan melalui Direktur Permuseuman Jakarta mengeluarkan
keputusan tentang penyeragaman nama museum negeri tingkat provinsi seluruh
Indonesia, yaitu mendahulukan nama provinsinya masing-masing kemudian diikuti
nama lokalnya. Dengan demikian sekali lagi museum berganti nama menjadi Museum Negeri Propinsi
Sulawesi Selatan La Galigo. Di era otonomi, melalui surat
keputusan Gubernur (2001), nama museum diganti menjadi UPTD Museum La Galigo
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan.
Ø Penamaan Museum La Galigo
Museum Sulawesi
Selatan ini diberi nama ‘La Galigo’ atas saran seorang seniman, dengan
pertimbangan nama ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
La Galigo adalah salah satu putra Sawerigading Opunna Ware, seorang tokoh
masyhur dalam mitologi Bugis, dari perkawinannya dengan WeCudai Daeng Risompa
dari Kerajaan Cina Wajo. Setelah dewasa, La Galigo dinobatkan menjadi Pajung
Lolo (Raja Muda) di Kerajaan Luwu, pada abad ke-14.
‘La Galigo’ juga
nama sebuah karya sastra klasik dalam bentuk naskah tertulis bahasa Bugis yang
terkenal dengan nama Surek La Galigo, dengan panjang 9.000 halaman, dan La
Galigo sendiri dianggap sebagai pengarangnya (note: studi mengungkapkan
kemungkinan penulisnya adalah perempuan bangsawan), pada masa yang sezaman
dengan Kerajaan Sriwijaya. Isinya mengandung cerita-cerita, tatanan, dan
tuntunan hidup orang Sulawesi Selatan dulu, seperti sistem religi, ajaran
kosmos, adat-istiadat, bentuk, dan tatanan masyarakat/pemerintahan tradisional,
pertumbuhan kerajaan, sistem ekonomi/perdagangan, keadaan geografis, dan
peristiwa penting yang pernah terjadi. Naskah ini biasanya dibacakan secara
berlagu kepada pendengarnya. Khusus ceritera tokoh Sawerigading, tidak hanya
dikenal di daerah Bugis saja, tetapi dapat dijumpai dalam bentuk ceritera lisan
di Makassar, Toraja (note: Toraja adalah dataran tinggi, sehingga cukup
mengejutkan berkembangnya epos berlatarbelakang bahari di sini), Mandar,
Massenrempulu, Selayar, Sulawesi Tenggara, dan Tengah.
Beberapa tokoh
yang pernah mengulas Surek La Galigo antara lain Stamford Raffles, B.F.Matthes,
R.A.Kern, dan A.Zainal Abidin Farid. Hasil pengkajian ilmuwan ini, diperoleh
kesimpulan berikut (Buku Petunjuk UPTD Museum La Galigo, 2008):
1.
Sebagai
sastra suci, menceritakan tentang cikal-bakal orang Bugis yang sakti dan
dimuliakan. Oleh sebab itu naskah La Galigo mereka layani dan hormati seperti
menghormat tokoh ceritera didalamnya. Dengan sikap dan pandangan demikian ini,
La Galigo melaksanakan fungsi sebagai penawar keresahan menghadapi ancaman
penyakit, bencana alam, dan kematian, juga sebagai pelindung ancaman
kebahagiaan hidup.
2.
Sebagai
Sastra Berguna atau Sastra Normatif, berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan; berbagai tatacara kehidupan sehari-hari, mulai dari
peristiwa kelahiran, pijak tanah, perkawinan, hingga urusan kematian dan adat
beraja-raja. Dengan demikian ia melaksanakan fungsi sebagai pendorong
terciptanya integritas sosial dengan keluarga raja sebagai intinya, dan
pendorong terciptanya stabilitas sosial, serta kelestarian pranata sosial
budaya.
3.
Sebagai
sastra indah, berisi ceritera petualangan, percintaan, dan peperangan yang
memikat dan menegangkan dalam irama dan gaya bahasa yang menawan. Dengan
kedudukan demikian naskah ini berfungsi sebagai alat penghibur, penggugah
emosi, dan imaji pengikat, pembina kompetensi dan apresiasi sastra di kalangan
masyarakat.
Dengan kedudukan
dan fungsi tersebut di atas ‘Surek La Galigo’ dapat bertahan melampaui masa
yang panjang dan menjadi warisan serta kebanggaan dari generasi ke generasi.
Ø Susunan Penataan Pameran
Gedung No.10, terletak di sebelah selatan, terdiri dari tiga lantai
dengan susunan penataan pameran sebagai berikut (Ruang 3-5 di Lantai II):
- Ruang 1 (Kebaharian): peta topografi, suku bangsa
Sulawesi Selatan; miniatur perahu pinisi, patorani, palari, bahan
pembuatan perahu, dll
- Ruang 2: bagang, roppong, alat penangkap ikan; perahu
lambo, palari, bendi, dll
- Ruang 3 (Teknologi Tradisional): alat pertanian
tradisional; lesung dari Raja Tolo Jeneponto; alat pengolahan sagu, gula
merah, alat rumah tangga, musik tradisional anjong bola, dll
- Ruang 4 (Tenun Tradisional): alat penempaan besi dan
hasil-hasilnya; alat proses pembuatan benang, lungsi; perangkat tenun
tradisional; berbagai hasil tenunan dan pakaian adat Sulawesi.
- Ruang 5 (Pakaian Pengantin dan Pelaminan): pakaian
pengantian adat suku bangsa di Sulawesi Selatan; pelaminan
- Ruang 6 (Wawasan Nusantara): pakaian adat Sulawesi
Utara, Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dll; panah dan patung
dari Papua; pakaian adat Jawa dan Bali, dll; lukisan Syekh Yusuf, tasbih,
dll
D.
Observasi
Ø Latar
belakang
Museum
La Galigoyang terletak di komplek Benteng Ujung pandang ini memiliki gaya
bangunan bercorak klasik. Nama La Galigo merupakan nama seorang sastrawan besar
Sulawesi Selatan yang juga merupakan cikal bakal Raja-raja Sulawesi Selatan.
Awal
kehadiran museum di Sulawesi Selatan pada tahun 1938, yaitu dengan didirikannya
Celebes Museum oleh Pemerintahan Nederlands Indie (Hindia Belanda) di Kota
Makassar.Kepala Museum pada saat itu adalah Tuan Nees.Museum ini menggunakan
salah satu bangunan dalam komplek Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam), yaitu
bekas kediaman Admiral C. Speelman.
Pada
tanggal 1 Mei 1970, Museum La Galigo resmi dinyatakan berdiri sesuai dengan SK
Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sulawesi selatan No. 182/V/1970. Pada tanggal 24
Februari 1974, Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. I.B. Mantra meresmikan gedung no. 5 dengan
luas 2.211 m² sebagai ruang pameran tetap dan ruang pembinaan. Selanjutnya pada
tanggal 28 Mei 1979 berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
093/0/1979 Museum La Galigo resmi menjadi Museum La Galigo Propinsi Sulawesi
Selatan. Pada tahun 1988 Direktur Jenderal Kebudayaan melalui Direktur
Permuseuman Jakarta mengeluarkan keputusan tentang penyeragaman nama museum
negeri tingkat propinsi seluruh Indonesia, yaitu mendahulukan nama propinsinya
kemudian diikuti nama lokal, sehingga museum La Galigo menjadi Museum Negeri
Propinsi Sulawesi Selatan La Galigo. Pada era otonomi daerah Museum Negeri
Propinsi Sulawesi Selatan La Galigo berubah nama menjadi UPTD Museum La Galigo
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan dengan SK. Gubernur
No. 166 tahun 2001 tanggal 28 Juni 2001.
Ø Bangunan
Bangunan-bangunan
yang terdapat didalam benteng selain digunakan sebagai kantor, dan pusat
pelayanan informasi di lingkungan dinas Pariwisata, juga ada yang difungsikan
sebagai museum dan diberi nama "Museum Negri Provinsi Sulawesi Selatan La
Galigo, yang diambil dari Nama seorang tokoh Budayawan, Sastrawan, Dan
Negarawan pada masa priode klasik masyarakat Sulawesi Selatan lagaligo juga
merupakan nama dari sebuah karya sastra klasik yang didalamya mengungkapkan
mengenai berbagai seni Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Sulawesi Selatan.
Sebagai
mana fungsinya sebagai sebuah museum yakni melestarikan dan memanfaatkan
warisan alam dan Budaya maka didalam museum LA Galigo dapat dijumpai
benda-benda prasejarah atau Arkeologi. Kilas balik masa lampau dapat dikaji
melalui situs- situs yang terpanjang, misalnya masa transisi megalitik yang
muncul setelah adanya tradisi ini ditandai dengan pendirian bangunan batu besar
yang digunakan sebgai saran pemujaan berdasarkan kepercayaan akan adanya
hubungan antara yang hidup dan yang meninggal terutama kepercayaan bahwa ada
pengaruh yang kuat dari yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat
dan kesuburan tanaman. Pada ruangan prasejarah arkeologi museum LA galigo dapat
ditemukan bukti-bukti sejarah masa lampau.Seperti masa berburu dan mengumpulkan
makanan.
Masa ini disebut paleolitik sebagai
awal adanya kebudayaan.
Ø Koleksi
Museum ini memiliki koleksi sebanyak kurang lebih 4999 buah
yang terdiri dari koleksi prasejarah, numismatik, keramik asing, sejarah,
naskah, dan etnografi. Koleksi etnografi terdiri dari berbagai jenis hasil
teknologi, kesenian, peralatan hidup dan benda lain yang dibuat dan digunakan
oleh suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Museum juga memiliki benda-benda
yang berasal dari kerajaan-kerajaan lokal dan senjata yang pernah digunakan
pada saat revolusi kemerdekaan.
1.
Koleksi Mata Uang
Didalam Museum Lagaligo terdapat koleksi mata uang yang
pernah beredar dan berlaku di indonesia yakni pada masa klasik Hindu Budha pada
abad ke -5-15 masa Islam pada abad 13. masa Kolonial abad ke 16. masa
Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.
2.
Koleksi Nusantara
Disalah satu ruangan
museum La Galigo anda dapat jumpai replika dari beberapa situs atau cagar
budaya di Indonesia, seperti bangunan candi , Arca, dan bentuk bentuk nisan
yang banyak ditemukan pada makam - makam kuno.
3.
Koleksi Keramik
Diruangan Koleksi Keramik terdapat berbagai jenis keramik
kuno dari berbagai dinasti seperti Dinasti Sung abad 13-14 Dinasti Swaton abad
16-18, Dinasti cing abad 17-19, Dinasti Yuan terjan abad 14-16, Dinasti
Annamese abad 14-16 Keramik - keramik ini berasal dari China, Vietnam, Thailand
,Siam dan Jepang.
4. Alat-alat
Tradisional Perikanan dan Kelautan
Pada bangunan lain Museum Lagaligo anda akan menjumpai
koleksi Perangkat Tradisional para pelaut dan nelayan bugis Makassar terdapat
replika Perahu Pinisi yang terkenal sampai ke manca negara berbagai jenis
peralatan nelayan untuk mengkap ikan yang umumnya masih dapat dijumpai dalam
kehidupan masyrakat pesisisr hingga saat ini.
5.
Sepeda dan Bendi
Tidak hanya peralatan tradisional nelayan yang terpanjang di
ruangan ini anda pun dapat melihat bendai, Sepeda ataupun Dokar, koleksi
Perangkat pertanian Tadisional yang terdapat dalam useum lagaligo ini adalah
bukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnya
masyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok
tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutama tanaman
padi sebagai bahan makanan pokok.
6.
Koleksi Peralatan Menempa Besi dan
Hasilnya
Jika anda ingin mengenali lebih jauh
tentang sisi lain dari kehidupan masa lampau masyarakat Sulawesi Selatan, maka
anda dapat mengkajinya melalui koleksi tradisional menempa besi, Hasil tempaan
berupa berbagai jenis senjata tajam, baik untuk penggunan sehari - hari maupun
untuk perlengkapan upacara adat.
7.
Koleksi Peralatan Tenun Tradisonal
Dari
koleksi Peralatan Tenun Tradisional
ini, dapat diketahui bahwa budaya menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan
berawal dari jaman prasejarah, yakni ditemukan berbagai jenis benda peninggalan
kebudayaan dibeberapa daerah seperti leang - leang kabupaten maros yang
diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat -
serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai
Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun
dangan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis
corak kain saung dan pakaian tradisional.
8.
Koleksi Pakaian Nusantara
Pada salah satu ruangan dalam,
Museum LA galigo, terdapat koleksi pakaian pengantin adat dari beberapa suku
dan daerah indonesia. Koleksi religius dipenghujung jelajah kita dimuseum La
Galigo, kita akan berada dalam suatu ruangan yang yang menyimpan berbagai
koleksi yang kental dengan islam, mulai dari potret para tokoh islam, Al-quran,
tasbih dari masa permulaan masuknya ajaran islam di Sulawesi Selatan.
Rumah Speelman (Gedung No.2)
Pameran
tetap di Museum La Galigo disajikan di Gedung No.10 yang terletak di sebelah
selatan dan Gedung No.2 sebelah utara dalam Kompleks Benteng Ujung Pandang.Dari
pintu gerbang Benteng, Gedung No.2 terletak di sebelah kiri.
Gedung No.2,
pada masa Hindia Belanda, adalah kediaman Laksamana Cornelis Speelman.
Setelah Makassar, Speelman masih memimpin beberapa ekspedisi militer, sebelum
kembali ke Batavia pada tahun 1677. Pernah menjabat sebagai Presiden Dewan
Kotapraja (1678) yang bersidang tiga kali seminggu di Balai Kota Batavia
(sekarang Museum Sejarah Jakarta), sebelum akhirnya menduduki jabatan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1681-1684).
Kediaman Speelman di Gedung No.2 sekarang difungsikan
sebagai ruang pameran Museum La Galigo, dengan item koleksi sebagai berikut
(Ruang 7-10 di lantai dua, Ruang 11-12 di lantai bawah tanah):
·
Ruang
1 : maket
Benteng Ujung Pandang, benda-benda/bahan bangunan benteng, peta lokasi benteng
Kerajaan Gowa, foto-foto Gedung yang dpugar,
- Ruang 2 : lukisan
prasejarah, alat batu prasejarah, koleksi arkeologi
- Ruang 3 : koleksi dari
masa prasejarah, lukisan, sistem penguburan megalitik
- Ruang 4 : gudang
- Ruang 5 : koleksi
numismatika dan arkeologi
- Ruang 6 : koleksi
etnografi
- Ruang 7 : koleksi Kerajaan
Sawitto; Kerajaan Wajo, Mandar, dan Tana Toraja; foto-foto pahlawan
nasional dan Sulawei Selatan
- Ruang 8 : koleksi Kerajaan
Luwu
- Ruang 9 : koleksi Kerajaan
Bone
- Ruang 10 : koleksi Kerajaan
Gowa
- Ruang 11 dan Ruang 12 : keramik asing dan peta lokasi
penemuan keramik asing di Sulawesi Selatan